Oleh : Warda Diantari
Prodi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Universitas PGRI Kanjuruhan Malang
Pacuan kuda merupakan salah satu permainan yang berkembang sebagai tradisi di beberapa daerah di Indonesia. Di Sumbawa pacuan kuda menjelma olahraga sekaligus budaya, dilakukan oleh anak-anak sebagai joki-joki cilik.
Maen jaran adalah permainan tradisional yang sudah berkembang sejak zaman Kolonial Belanda di Sumbawa Barat dan Sumbawa Besar, Nusa Tenggara Barat.
Berbeda dengan kebanyakan pacuan kuda di berbagai daerah lain di Indonesia, Maen jaran sebagian besar pesertanya adalah kuda dewasa yang ditumpangi oleh seorang joki yang berusia muda, bahkan bisa disebut masih anak-anak. Tak jarang kemudian mereka disebut dengan “joki cilik”.
Semenjak pertama kali dilakukan di masa penjajahan Belanda, permainan pacuan kuda ini sudah mengalami beberapa perkembangan, terutama dalam hal makna.
Maen jaran dewasa ini maknanya sudah bergeser menjadi sekadar permainan pacuan kuda biasa. Ada juga yang mengagapnya sebagai ajang gengsi dan kematangan kuda-kuda pacu untuk tujuan ekonomis. Semakin bagus prestasi kuda, semakin mahal nilai jualnya.
Sportivitas dan Kerja Keras
Maen jaran mengadopsi sistem gugur layaknya sepak bola. Untuk kuda yang kalah pada pertandingan sebelumnya, tidak diperkenankan lagi mengikuti pertandingan selanjutnya. Sistem ini berkesinambungan hingga didapati pertandingan final dengan satu pemenang saja.
Maen Jaran memiliki beberapa kelas dalam kompetisinya. Kelas-kelas tersebut di antaranya, kelas Taka Saru untuk kuda pemula, kelas Teka Pas untuk kuda yang sudah pernah ikut perlombaan 2-3 kali, kelas Teka A untuk kuda yang berpengalaman dan memiliki tinggi 117 – 121 cm, kelas Teka B untuk kuda berpengalaman dengan tinggi minimal 121 cm, kelas Teka OA untuk kuda berpengalaman dengan tinggi minimal 126 cm.
Kemudian kelas OB untuk kuda berpengalaman dengan tinggi antara 127-129 cm, kelas Harapan untuk kuda telah nyepo dan berpengalaman dengan tinggi minimal 129 cm, dan kelas Tunas untuk kuda berpengalaman dengan tinggi minimal 129 cm dan gigi taringnya telah tumbuh dewasa.
Maen jaran sebagai sebuah tradisi tentunya tidak lepas dari nilai-nilai budaya. Maen jaran setidaknya mengajarkan masyarakat Sumbawa untuk selalu sportif dan bekerja keras. Nilai kerja keras tercermin dari semangat joki yang sekuat tenaga memacu kudanya untuk menang. Selain itu, nilai ini juga dapat terlihat pada proses persiapan perlombaan, latihan, hingga perlombaan itu sendiri. Sementara, nilai sportivitas tercermin dari sikap para pemain untuk tidak berbuat curang selama perlombaan. (*)